Pelanggaran
hak-hak asasi orang Papua terus terjadi. Tidak ada tanda-tanda akan
berhenti. Di mana janji Presiden Joko Wido
Jenewa_Sidang
Dewan HAM PBB.
“Di Balik Pintu Tertutup: Hak Asasi Manusia di Papua Barat,”
adalah tema Side Event yang diselenggarakan bersama oleh NGO
Internatioanal di sela-sela sidang Dewan HAM PBB sesi 28 pada bulan
Maret 2015 yang lalu. Penyelenggaran Side Event ini untuk menggugah
keberpihakan Negara (Pemerintah) Republik Indonoesia dalam
menyelesaikan persoalan HAM di Papua Barat yang tidak pernah
berhenti. Side Event tersebut dibuat dalam bentuk panel diskusi,
menghadirkan empat narasumber dari Indonesia dan Luar Negeri. Hadir
dari Indonesia Wensi Fatubun, seorang filmmaker yang bercerita
tentang Papua melalui film-film pendek dan Direktur Imparsial,
Poengky Indarty. Hadir juga Wakil Direktur Minority
Rights Group International, Claire Thomas dan Jurnalis
Perancis yang perna ditahan oleh Polisi Indonesia di Papua Barat pada
tahun 2014 lalu, Valentine Bourrat.
Fokus
pembicaraan keempat nara sumber adalah kurangnya akses di segala
bidang bagi orang Papua di tanahnya sendiri dan tertutupnya akses
bagi masyarakat lain untuk mengetahui situasi pelanggaran hak asasi
manusia di Papua.
Claire
Thomas menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan
oleh Negara dan Pemerintah Indonesia sudah sering terjadi di Papua
Barat dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. “Masyarakat
sipil dan kelompok-kelompok media dari
luar Indonesia sulit untuk memantau
dan melaporkan masalah di
Papua
Barat,”
demikian Claire.
Menurut
Poengky Indarti wacana
yang
konstruktif sangat sedikit dilakukan untuk
menyikapi
persoalan
hak asasi di Papua Barat dan bagaimana pelanggaran Hak Asasi Manusia
terhadap orang Papua dihentikan. Poengky
berharap
Presiden baru,
Joko
Widodo, mampu
memperbaiki situasi di Papua Barat
sesuai dengan janjinya pada saat kampanye.
Banyaknya suara yang memilih Joko Widodo pada pemilihan Presiden
Indonesia dinilai Poengky sebagai besarnya harapan orang Papua agar
Presiden memperhatikan kehidupan dan hak-hak orang Papua.
Sementara
itu, Jurnalis
Perancis Valentine Bourrat berbicara tentang pengalamannya saat
ditahan
selama dua setengah
bulan di Papua Barat Agustus lalu. Dia dan rekannya
Thomas Dandois memasuki wilayah visa turis demi
mendapatkan akse yang lebih besar masuk dan melakukan wawancara
dengan masyarakat di sana. Keduanya ditangkap
dan
ditahan selama 11
minggu
bersama Toko Adat Papua Areki Wanimbo yang sampai saat ini belum
dibebaskan. “Kami mendesak
Pemerintah
Indonesia membebaskan
Wanimbo,”
kata Borrat.
Pemutaran
Film Pendek
Pada
panel diskusi tersebut juga diputarkan dua film pendek yang dibuat
oleh Wensi Fatubun. Film pertama menampilkan sejarah
penindasan terhadap
orang Papua
Barat.
Dalam film pertama tersebut orang Papua bercerita dan berharap agar
pemerintah Indonesia merubah kebijakannya dalam rangka memberikan
hak-hak kepada masyarakat
adat Papua yang kini minoritas di Indonesia dan juga di tanah mereka
sendiri, termasuk pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.
Juga
ditampilkan film
kebrutalan
polisi saat
terhadi pembunuhan
terhadap
empat
pemuda pada
8 Desember 2014 di
Paniai, dan bagaimana
mereka menyerang para demonstran yang melakukan aksi damai pada hari
berikutnya.
“Pembunuhan
dan serangan ini
memberikan pemahaman yang lebih besar dari
urgensi
masalah penyimpangan
yang
dilakukan oleh pemerintah
Indonesia,”
kata Wempi mengomentari film tersebut.
“Harus
ada perlindungan
bagi
mereka
yang bekerja untuk memerangi pelanggaran hak atas tanah dan
mempromosikan hak asasi manusia, karena mereka
menghadapi
beberapa tindakan paling kejam berupa
intimidasi,
penahanan, dan bahkan kematian,”
tegas Wensi.
Panel
diskusi yang juga dihadiri oleh perwakilan dari delegasi Indonesia
sama-sama mendesak dibukanya akses khususnya media
untuk
mendapatkan informasi pelanggaran hak-hak asasi manusia Papua.
Kebutuhan
untuk
PBB
adalah
memiliki
akses yang lebih besar untuk mengunjungi Papua Barat melalui sistem
Pelapor Khusus
PBB. Panelis dan peserta juga berkeinginan untuk bersama-sama
berjuang melawan diskriminasi dan memastikan hak
orang
Papua terpenuhi.***
Diolah
dari ringkasan
yang
dibuat oleh Susan
Harga (Fransiskan International) oleh Redaktur Majalah Gita Sang Surya.
No comments:
Post a Comment